Jumat, 13 Juni 2008

Mencintai Nabi Muhammad SAW



Jika kita menyukai dan mencintai sesuatu, pasti kita akan sering menyebut sesuatu itu. Bahkan kita akan berusaha untuk menjaga keadaan dari sesuatu yang kita cintai itu dengan baik. Apapun akan kita persembahkan demi sesuatu tersebut. Ketika kita menjadikan perabotan rumah tangga sebagai salah satu hal yang kita suka dan cintai, kita pasti akan senantiasa merawatnya, acapkali membersihkannya, menatanya dengan rapi serta senantiasa menjadikannya sebagai salah satu perhatian utama. Sesuatu pembicaraan dan tulisan yang bernuansa seputar masalah perabotan akan menjadi sangat menarik dan jadi perhatian utama kita. Benar bukan?


Lain lagi jika kita tergolong seorang yang menyukai dan mencintai kebersihan. Ke sudut manapun pandangan mata kita tujukan, pasti hal pertama yang menjadi perhatian kita adalah soal kebersihannya. Jika di suatu sudut yang kita pandang kita jumpai dalam keadaan kotor, pikiran kita pasti menjadi terganggu dan berkeinginan untuk segera membuat keadaan yang terlihat kembali bersih. lain lagi jika kita sudah kelewat mengagumi seseorang dan menjadikannya idola. Kita pasti akan sering menyebut namanya, baik didepan orang banyak dengan cara menceritakan segala kelebihannya hingga bahkan sampai bermimpi tentangnya disaat tidur.



Namun sadarkah kita, kaum muslimin khususnya, bahwa ada sosok seseorang yang sudah hampir kita lupakan. Sebaik-baik makhluk yang Allah SWT hadirkan ke dunia. Sosok yang sesungguhnya wajib menjadi idola dan teladan. Sosok yang selayaknya senantiasa dirindukan dalam setiap tarikan nafas, dalam setiap gerak gerik dan tindak tanduk keseharian. Sosok yang diimpi-impikan untuk dapat diteladani akhlaknya. Sosok yang terlahir dengan membawa kesempurnaan dan untuk menyempurnakan akhlak. Tiada yang ia bawa kecuali peringatan-peringatan untuk menetapi jalan kebaikan dan kebenaran menuju sebuah cinta yang hakiki, yakni cinta kepada Allah SWT dan meng-esakan-Nya.


Dialah Rasulullah, Nabi Muhammad SAW, penutup para Nabi, Sang pembawa risalah kebenaran ilahi. Saat ini, sudah sejauh mana rasa cinta kita benar-benar menghunjam dihati terhadap beliau SAW? Ucapan apa yang keluar dari bibir kita saat nama beliau SAW disebut oleh seseorang? Kemuliaan seperti apakah yang kita inginkan? Kemuliaan di mata manusia ataukah kemuliaan di sisi Allah SWT? Sungguh, sebaik-baik ucapan yang keluar dari bibir kita tatkala nama Rasulullah Muhammad SAW disebut adalah berupa ucapan sholawat dan salam yang kita sampaikan kepadanya. Dan tidaklah orang yang disebut pelit itu hanya orang yang tidak mau memberikan kelebihan hartanya, namun kata Rasulullah SAW dalam haditsnya, bahwa “Orang yang bakhil (pelit) itu adalah orang yang apabila disebut namaku (Muhammad SAW), namun ia tidak mau bersholawat kepadaku”.


Sungguh, akan kemana wajah ini akan kita hadapkan. Malu rasanya saat ini kita jauh dari apa yang dirasakan para sahabat terhadap Rasulullah SAW. Para sahabat begitu haru biru ketika berada bersama Rasulullah SAW. Ada yang menangis saat disebut nama beliau SAW, ingin senantiasa bersama dan selalu menyertai beliau SAW, bahkan ada salah seorang dari sahabat Rasulullah SAW yang merasa khawatir tidak dapat bertemu beliau SAW - meskipun ia telah dijamin surga - saat mengingat kematian yang akan mendatanginya dan kematian Rasulullah SAW.


Sesungguhnya mencintai nabi Muhammad SAW adalah wajib, melebihi kecintaan kita terhadap diri kita sendiri, orang tua, anak, keluarga, harta benda, bahkan seluruh manusia. Dan salah satu tanda seseorang yang mencintai Rasulullah SAW adalah berharap yang sangat akan pertemuan dengan beliau SAW serta menyertainya. Dan kehilangan keduanya adalah adalah lebih berat baginya dari kehilangan apapun di dunia ini.


***


Ya Allah Ya Rabbiy,


Kurniakanlah kami kalbu pecinta

Cinta akan Rasul-Mu terkasih

Dengan sebenar-benarnya cinta sejati

Yang bukan hanya pengakuan namun berupa pembuktian

Yang menjadikan pertemuan dengannya sebagai sebuah kerinduan…


***

Read More……



Jika kita menyukai dan mencintai sesuatu, pasti kita akan sering menyebut sesuatu itu. Bahkan kita akan berusaha untuk menjaga keadaan dari sesuatu yang kita cintai itu dengan baik. Apapun akan kita persembahkan demi sesuatu tersebut. Ketika kita menjadikan perabotan rumah tangga sebagai salah satu hal yang kita suka dan cintai, kita pasti akan senantiasa merawatnya, acapkali membersihkannya, menatanya dengan rapi serta senantiasa menjadikannya sebagai salah satu perhatian utama. Sesuatu pembicaraan dan tulisan yang bernuansa seputar masalah perabotan akan menjadi sangat menarik dan jadi perhatian utama kita. Benar bukan?


Lain lagi jika kita tergolong seorang yang menyukai dan mencintai kebersihan. Ke sudut manapun pandangan mata kita tujukan, pasti hal pertama yang menjadi perhatian kita adalah soal kebersihannya. Jika di suatu sudut yang kita pandang kita jumpai dalam keadaan kotor, pikiran kita pasti menjadi terganggu dan berkeinginan untuk segera membuat keadaan yang terlihat kembali bersih. lain lagi jika kita sudah kelewat mengagumi seseorang dan menjadikannya idola. Kita pasti akan sering menyebut namanya, baik didepan orang banyak dengan cara menceritakan segala kelebihannya hingga bahkan sampai bermimpi tentangnya disaat tidur.



Namun sadarkah kita, kaum muslimin khususnya, bahwa ada sosok seseorang yang sudah hampir kita lupakan. Sebaik-baik makhluk yang Allah SWT hadirkan ke dunia. Sosok yang sesungguhnya wajib menjadi idola dan teladan. Sosok yang selayaknya senantiasa dirindukan dalam setiap tarikan nafas, dalam setiap gerak gerik dan tindak tanduk keseharian. Sosok yang diimpi-impikan untuk dapat diteladani akhlaknya. Sosok yang terlahir dengan membawa kesempurnaan dan untuk menyempurnakan akhlak. Tiada yang ia bawa kecuali peringatan-peringatan untuk menetapi jalan kebaikan dan kebenaran menuju sebuah cinta yang hakiki, yakni cinta kepada Allah SWT dan meng-esakan-Nya.


Dialah Rasulullah, Nabi Muhammad SAW, penutup para Nabi, Sang pembawa risalah kebenaran ilahi. Saat ini, sudah sejauh mana rasa cinta kita benar-benar menghunjam dihati terhadap beliau SAW? Ucapan apa yang keluar dari bibir kita saat nama beliau SAW disebut oleh seseorang? Kemuliaan seperti apakah yang kita inginkan? Kemuliaan di mata manusia ataukah kemuliaan di sisi Allah SWT? Sungguh, sebaik-baik ucapan yang keluar dari bibir kita tatkala nama Rasulullah Muhammad SAW disebut adalah berupa ucapan sholawat dan salam yang kita sampaikan kepadanya. Dan tidaklah orang yang disebut pelit itu hanya orang yang tidak mau memberikan kelebihan hartanya, namun kata Rasulullah SAW dalam haditsnya, bahwa “Orang yang bakhil (pelit) itu adalah orang yang apabila disebut namaku (Muhammad SAW), namun ia tidak mau bersholawat kepadaku”.


Sungguh, akan kemana wajah ini akan kita hadapkan. Malu rasanya saat ini kita jauh dari apa yang dirasakan para sahabat terhadap Rasulullah SAW. Para sahabat begitu haru biru ketika berada bersama Rasulullah SAW. Ada yang menangis saat disebut nama beliau SAW, ingin senantiasa bersama dan selalu menyertai beliau SAW, bahkan ada salah seorang dari sahabat Rasulullah SAW yang merasa khawatir tidak dapat bertemu beliau SAW - meskipun ia telah dijamin surga - saat mengingat kematian yang akan mendatanginya dan kematian Rasulullah SAW.


Sesungguhnya mencintai nabi Muhammad SAW adalah wajib, melebihi kecintaan kita terhadap diri kita sendiri, orang tua, anak, keluarga, harta benda, bahkan seluruh manusia. Dan salah satu tanda seseorang yang mencintai Rasulullah SAW adalah berharap yang sangat akan pertemuan dengan beliau SAW serta menyertainya. Dan kehilangan keduanya adalah adalah lebih berat baginya dari kehilangan apapun di dunia ini.


***


Ya Allah Ya Rabbiy,


Kurniakanlah kami kalbu pecinta

Cinta akan Rasul-Mu terkasih

Dengan sebenar-benarnya cinta sejati

Yang bukan hanya pengakuan namun berupa pembuktian

Yang menjadikan pertemuan dengannya sebagai sebuah kerinduan…


***

Selasa, 06 Mei 2008

Jika Esok Tak Pernah Datang

Setiap bangun tidur dan membuka mata, yang terucap adalah kalimat syukur bahwa Allah masih mengizinkan diri ini kembali melihat fajar. Merasai hembusan angin pagi yang menerobos celah jendela, dan menjumpai semua yang semalam terlihat sebelum mata terpejam masih seperti sedia kala, tidak ada yang berubah. Kemudian melangkahlah dengan iringan doa di gerbang mungil menuju arena perjuangan kehidupan. Dengan tuntunan-Nya lah diri ini tak melangkah ke jalan yang salah, tak menjamah yang bukan hak, tak melihat yang dilarang, tak memamah yang tak halal, tak mendengar yang batil, dan tak banyak melakukan yang sia-sia. Karena setiap waktu yang terlewati pasti akan ditagih tanggungjawabnya. Lantaran semua jalan yang dilalui akan dimintai kesaksiannya atas diri ini. Dan sebab seluruh indera ini akan diminta bicara tentang apa-apa yang pernah tercipta.

Hari ini, masih ada lalai terbuat. Masih juga lengah sehingga khilaf tercipta. Meski segunung tausyiah pernah didengar, mulut ini masih terselip berucap dusta, saringan telinga ini tetap tak mampu membendung suara-suara melenakan, dan masih saja ada perbuatan yang salah, walau itu dalam bingkai alpa. Padahal, di setiap terminal ruhiyah, sedikitnya lima kali sehari lidah ini berucap, tangan ini tertengadah, dan mata menitikkan butir bening, seraya memohon perlindungan dari Allah dijauhkan dari salah dan dosa. Tetapi, masih juga langkah ini menuju arah yang sesat.

Setiap hari menangis, setiap hari meminta ampunan, setiap hari berbuat salah. Hari ini mencipta dosa, esok sibuk bersujud, meluluhkan air mata, menyusun kalimat doa, menganyam pinta semoga Allah menghapusnya dalam sekejap. Detik ini berbuat salah, terlalu lama menghapusnya, bahkan kadang lupa. Padahal, bisa saja sedetik kemudian diri ini tak lagi sempat memohon ampunan. Lupakah bahwa waktu sangat cepat berlalu. Lupakah pula bahwa menyesal di akhirat hanyalah kesiaan yang nyata?

Bagaimana jika hari esok tak pernah datang, padahal baru saja seharian ini berenang di lautan dosa. Padahal belum sempat menghapus noda hari ini, kemarin, sepekan yang lalu, setahun lalu, dan bertahun-tahun yang lalu. Bagaimana jika Allah tak berkenan membukakan mata kita setelah sepanjang malam terlelap? bagaimana jika perjumpaan dan canda riang bersama keluarga semalam adalah yang terakhir kalinya. Ketika esok harinya ruh ini melihat seluruh keluarga menangisi jasad diri yang terbujur kaku berkafan putih.

Bagaimana jika matahari esok terbit dari barat, tak seperti biasanya dari timur? Padahal hari ini lupa menyebut nama-Nya. Padahal di hari ini, belum sempat mengunjungi satu persatu keluarga, kerabat, sahabat, tetangga, dan orang-orang yang pernah tersakiti oleh lidah dan tindakan kita. Sudah terlalu lama tak mencium kaki orang tua mencari keridhaannya, walau tak terhitung salah diri. Belum lagi sempat berderma, setelah derma kecil beberapa tahun lalu yang sering kita banggakan.

Dan jika memang esok tak pernah datang. Sungguh celakalah diri ini. Benar-benar celaka, bila belum sempat mencuci dosa sepanjang hidup. Bila belum mendengar ungkapan maaf dari orang-orang yang pernah terzalimi, bila belum menyisihkan harta yang menjadi hak orang lain, bila belum sempat meminta ampun atas segala salah dan khilaf yang tercipta.
Maka, saat pagi ini Allah masih memperkenankan diri menikmati fajar, mulaikan hari dengan kalimat, "terima kasih, Allah"

(Ditulis oleh Bayu Gawtama)


Read More……

Setiap bangun tidur dan membuka mata, yang terucap adalah kalimat syukur bahwa Allah masih mengizinkan diri ini kembali melihat fajar. Merasai hembusan angin pagi yang menerobos celah jendela, dan menjumpai semua yang semalam terlihat sebelum mata terpejam masih seperti sedia kala, tidak ada yang berubah. Kemudian melangkahlah dengan iringan doa di gerbang mungil menuju arena perjuangan kehidupan. Dengan tuntunan-Nya lah diri ini tak melangkah ke jalan yang salah, tak menjamah yang bukan hak, tak melihat yang dilarang, tak memamah yang tak halal, tak mendengar yang batil, dan tak banyak melakukan yang sia-sia. Karena setiap waktu yang terlewati pasti akan ditagih tanggungjawabnya. Lantaran semua jalan yang dilalui akan dimintai kesaksiannya atas diri ini. Dan sebab seluruh indera ini akan diminta bicara tentang apa-apa yang pernah tercipta.

Hari ini, masih ada lalai terbuat. Masih juga lengah sehingga khilaf tercipta. Meski segunung tausyiah pernah didengar, mulut ini masih terselip berucap dusta, saringan telinga ini tetap tak mampu membendung suara-suara melenakan, dan masih saja ada perbuatan yang salah, walau itu dalam bingkai alpa. Padahal, di setiap terminal ruhiyah, sedikitnya lima kali sehari lidah ini berucap, tangan ini tertengadah, dan mata menitikkan butir bening, seraya memohon perlindungan dari Allah dijauhkan dari salah dan dosa. Tetapi, masih juga langkah ini menuju arah yang sesat.

Setiap hari menangis, setiap hari meminta ampunan, setiap hari berbuat salah. Hari ini mencipta dosa, esok sibuk bersujud, meluluhkan air mata, menyusun kalimat doa, menganyam pinta semoga Allah menghapusnya dalam sekejap. Detik ini berbuat salah, terlalu lama menghapusnya, bahkan kadang lupa. Padahal, bisa saja sedetik kemudian diri ini tak lagi sempat memohon ampunan. Lupakah bahwa waktu sangat cepat berlalu. Lupakah pula bahwa menyesal di akhirat hanyalah kesiaan yang nyata?

Bagaimana jika hari esok tak pernah datang, padahal baru saja seharian ini berenang di lautan dosa. Padahal belum sempat menghapus noda hari ini, kemarin, sepekan yang lalu, setahun lalu, dan bertahun-tahun yang lalu. Bagaimana jika Allah tak berkenan membukakan mata kita setelah sepanjang malam terlelap? bagaimana jika perjumpaan dan canda riang bersama keluarga semalam adalah yang terakhir kalinya. Ketika esok harinya ruh ini melihat seluruh keluarga menangisi jasad diri yang terbujur kaku berkafan putih.

Bagaimana jika matahari esok terbit dari barat, tak seperti biasanya dari timur? Padahal hari ini lupa menyebut nama-Nya. Padahal di hari ini, belum sempat mengunjungi satu persatu keluarga, kerabat, sahabat, tetangga, dan orang-orang yang pernah tersakiti oleh lidah dan tindakan kita. Sudah terlalu lama tak mencium kaki orang tua mencari keridhaannya, walau tak terhitung salah diri. Belum lagi sempat berderma, setelah derma kecil beberapa tahun lalu yang sering kita banggakan.

Dan jika memang esok tak pernah datang. Sungguh celakalah diri ini. Benar-benar celaka, bila belum sempat mencuci dosa sepanjang hidup. Bila belum mendengar ungkapan maaf dari orang-orang yang pernah terzalimi, bila belum menyisihkan harta yang menjadi hak orang lain, bila belum sempat meminta ampun atas segala salah dan khilaf yang tercipta.
Maka, saat pagi ini Allah masih memperkenankan diri menikmati fajar, mulaikan hari dengan kalimat, "terima kasih, Allah"

(Ditulis oleh Bayu Gawtama)